

Ancaman kerusakan dan deforestasi yang kian meningkat, menjadi sebuah kekhawatiran terutama bagi masyarakat sekitar hutan. Dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan tersebut ketersediaan pemenuhan kehidupan seperti sandang, pangan, dan papan. Tetapi, masih terdapat kelompok orang yang sangat peduli akan keberlangsungan hutan yaitu Masyarakat Adat. Menurut UU No. 32 Tahun 2009 mendefinisikan Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal-usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menemukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum. Mereka memiliki kebiasaan dan kearifan lokal dalam pemanfaatan sumberdaya hutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang diwariskan secara turun temurun dan menjaganya agar dapat tersedia hingga masa yang akan mendatang.
Salah satu contohnya adalah masyarakat adat Mataue yang berada di Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Arti dari kata Mataue dari beberapa sumber berasal dari kata Mata UE. Mata adalah Mahar (Oti dalam bahasa kulawi), sedangkan Ue berarti Air. Pengertian secara historis berasal dari air yang dijadikan mahar untuk pemberian anak perempuan yang bernama Raimbulawa dengan seorang pemburu bernama Tudalili yang asal dari kampung Lindu, mereka inilah nenek moyang orang Mataue. Secara turun temurun masyarakat adat Mataue sudah dibekali dengan aturan mengenai pengusahaan dan pengelolaan sumberdaya alam yang dimiliki dinamai Mopahilolanga Katawua (mengurus alam secara arif).



Masyarakat adat Mataue memiliki kearifan lokal yang membagi hak kepemilikan sumberdaya alam adat menjadi dua kategori. Pertama, hak kepemilikan bersama (Katumpuia Hangkani), tanah dan segala sumber daya alam yang ada di wilayah adat (Huaka) termasuk tanah desa adalah milik bersama masyarakat adat Mataue, mencakup Wana dan Wana Ngkiki. Lahan tersebut tidak boleh diperjualbelikan dan dimanfaatkan bersama atas dasar Lembaga Adat Mataue. Wana Ngkiki tidak boleh terdapat aktivitas penebangan karena wilayah tersebut mutlak dilindungi, jika ada kan ada sanksi adat kepada pelanggarnya. Kedua, hak kepemilikan pribadi (Katumpuia Hadua) merupakan tanah dan segala sumber daya alam dalam kawasan tertentu dapat menjadi milik pribadi apabila sudah dikelola sebagai lahan pertanian dan perkebunan. Milik pribadi tersebut terdiri dari Pohao Pangko, Pangale, Oma, Pampa, dan Pohua Dua. Aturan adat tersebut sangat dipatuhi oleh masyarakat ada mataue.
Kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat adat membantu dalam menjaga keseimbangan dalam pemanfaatan hutan itu sendiri. Mereka tidak hanya memanfaatkan hutan secara sembarangan, namun memiliki aturan dan pembagian zona yang jelas untuk mengatur penggunaanya. Masyarakat memahami betul bahwa hutan adalah sumber kehidupan bagi mereka. Mereka percaya bahwa jika hutan rusak, maka kehidupan mereka juga akan terganggu.
Praktek kearifan lokal masyarakat adat dalam menjaga hutan ini menghadirkan inspirasi bagi seluruh kalangan masyarakat sebagai bentuk upaya konservasi dan pelestarian hutan yang ada di Indonesia. Keseimbangan antara pemanfaatan dan konservasi alam dapat tercapai apabila terdapat saling kepercayaan, kolaborasi, serta pengawasan bersama antara masyarakat adat dengan masyarakat umum, pemerintah, atau lembaga lainnya bersama terlibat aktif dalam menjaga keutuhan hutan. Memanfaatkan dengan arif untuk masa sekarang sebagai bekal warisan untuk masa yang akan mendatang.
Referensi: