- 21 March, 2018
- Posted by: NTFP Indonesia
- Category: CBC

Membahas tentang tenun doyo memang tidak pernah ada habisnya. Banyak sekali hal-hal unik yang bisa diceritakan dari selembar kain tenun ini. Pada tulisan kali ini saya akan mencoba menceritakan tentang salah satu warna yang menjadi ciri khas tenun doyo.
Warna khas pada motif tenun doyo adalah merah, hitam, dan hijau. Merah diperoleh dari tanaman Terujak yang masih banyak tumbuh di sekitar kampung; warna hijau diperoleh dari tanaman puput yang sudah sulit ditemukan karena alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit dan tambang; dan warna hitam yang akan saya ceritakan pada tulisan ini.
Umumnya warna hitam diperoleh dari jelaga hasil pembakaran getah damar yang asapnya ditampung pada pantat panci atau disebut lantukng dalam bahasa Dayak Benuaq. Lantukng ini dikumpulkan sedikit demi sedikit untuk mendapatkan jumlah yang cukup untuk mewarnai satu lembar kain tenun. Akan tetapi, sejak masuknya warna kimia sekitar tahun 90-an perajin tenun beralih menggunakan pewarna kimia dalam produksi tenun ikat doyo yang dikombinasi dengan benang polyester.


Saat ini getah damar sulit ditemukan. Pada tahun 2016, NTFP EP Indonesia bersama perajin tenun doyo kembali menghidupkan tradisi warisan nenek moyang pewarnaan alam dengan lantukng untuk menghasilkan warna hitam. Metode pewarnaan alam ini menggunakan solar sebagai pengganti getah damar. Solar digunakan sebagai bahan bakar pelita dan di atas pelita digantungkan kaleng bekas untuk menampung jelaga dari pelita. Lantukng yang menempel pada kaleng dikerik dan dimasukkan ke dalam wadah (piring/baskom/dll). Untuk menghasilkan sepiring lantukng dibutuhkan pembakaran sekitar 10 pelita dalam satu malam dan menghabiskan 2 liter solar.

Setiap pewarna alam membutuhkan bahan pengikat warna agar menempel pada benang dan tidak luntur ketika dicuci. Untuk pewarnaan dengan lantukng bahan pengikat yang digunakan adalah daun lempeke yang banyak tumbuh di hutan sekitar kampung. Ketika diremas-remas, daun lempeke akan mengeluarkan lendir yang berfungsi sebagai pengikat warna pada benang doyo. Proses pewarnaan dilakukan dengan menaburkan lantukng pada benang doyo dan diremas-remas sampai warna merata. Dalam prosesnya disiramkan juga lendir daun lempeke sebagai pengikat warna sekaligus pelicin pada benang sehingga lebih mudah diremas.
Tradisi pewarnaan alam dengan lantukng, harus dilestarikan, sehingga produksi tenun doyo pewarna alam yang lebih ramah lingkungan, ramah produsen, dan ramah konsumen akan terus mewarnai khasanah tenun doyo di Nusantara.
Oleh : Romawati/NTFP EP Indonesia